Sabtu, 27 Desember 2014

Batas

Kabau, hari ini aku termenung di batas senja. Bukan menunggumu, tapi aku menata hatiku yang telah tak ku rawat sejak saat itu. Aku kini sengaja menunggu senja semakin redup untuk membuatku rindu, rindu pada banyak hal yang aku lewatkan setelah perjumpaan itu.
Hujan selalu turun seperti biasa, Kabau. Kabut pun masih sama. Hanya tempat dan waktu yang berbeda. Kenangan memang selalu ada, bahkan setelah kau melukis lukisan misterius yang hanya di mengerti olehmu saja. Aku tetap menyimpannya. Tapi apakah kamu melakukan hal yang sama? Itu juga menjadi misteri bagiku.
Kabau, setiap malam aku rindu memastikan kau menjagaku di depan kamarku. Ada debaran menyenangkan saat itu, sepertinya itu hormon dopamin, karena itu membuatku ketagihan. Tak jarang aku juga termenung di depan pintu kamarku saat fajar tiba. Dulu, selalu ku lihat dirimu terjaga saat mendengar pintu kamarku terbuka. Kau, tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Terimakasih, Kabau, itu sangat berarti.
Kabau, kamu tahu, ada rindu yang bisa kujaga, namun ada rindu yang menguap bersama kenangan. Ada yang selalu bersama namun ada juga yang layu dalam ingatan. Seperti apakah kita? Aku terlalu lelah berharap pada takdir. Luka luka yang ada belum sepenuhnya kering dan tidak cukupmembuatku tegar. Kamu belum tahu sedalam apa luka itu, Kabau, kita belum tahu. Aku hanya berjalan menyusuri waktu, dan melihat.