Senin, 12 Februari 2018

soulmate (1)

Dalam mencintai, orang yang lebih mencintai adalah yang kalah. Dan sepertinya aku sudah kalah.
.
.
Udara pagi itu cerah. Tidak seperti biasa, aku tidak terlambat, jadi tidak perlu terburu-buru. Aku bisa menunggu kelas di taman jurusan, mungkin disana sudah ada beberapa teman-teman yang juga menanti kelas yang akan dimulai satu jam lagi.
.
.
.
"Halo!", aku menyapa semua teman-teman yang berkumpul di salahsatu kursi taman, sedang asik mengobrol.
"Hei!".
"Karina!".
"Halo!", setiap orang membalas sapaanku. Aku tau suara siapa saja yang membalas sapaanku. Tapi jantungku berdebar lebih keras pada satu suara. Tanpa aku sadari, pandanganku kini terfokus pada asal suara itu. Si pencuri.
"Tumben gak telat, Rin?", Reza menggodaku.
Aku hanya membalas dengan tawa ringan dan tanda "V". Meski berbicara dengan Reza, ujung mataku masih mengekor pada satu sosok lain yang berjarak beberapa otang dari Reza.
"Eh di tv udah ada serial Game of Throne ya?", Ahmad kembali asik dengan tema yang dia bicarakan sebelumnya.
"Iya tapi episode lama itu, sesion satu", komentar Yuni.
"Sekarang udah sampai sesion 4. Eh, kamu udah donlot episode minggu ini, Yun?", Mhala menanggapi respon Yuni pada Ahmad.
"Udah, mau?", tanya Yuni pada Mhala.
"Ih, ngopi dong!", Mhala bersemangat.
"Eh, kalian ada episode-episode sesion 1 itu? Gak tau kenapa gue nonton satu episode di tv, jadi kepo", ujar Ahmad.
"Ih, kemana aja kamu!", komentar Mhala.
Ada banyak sub- obrolan di perkumpulan ini, tapi aku juga bisa menangkap obrolan 3 orang lain di sampingku ini, padahal aku sedang mengobrol dengan Reza dan Gaga tentang tugas mata kuliah Akuntansi Bisnis. Dasar Pencuri!
"Filenya udah aku kirim. Download aja ya di email", paparku.
"Sip!".
"Oke, makasih."
Gaga dan Reza merespon pemaparanku.
"Eh, Mad, jangan jadi generasi telatan. Orang udah kemana, ini baru bangun. Ckck", komentar Reza kemudian pada Ahmad, setelah selesai dan jelas urusan tugas denganku.
"Ya namanya rasa, ga bisa dipaksa. Kalau bary ngerasain sekarang ya, takdirnya gitu", seperti biasa, Ahmad berusaha terlihat tetap keren.
"Sa ae lu ngeles", komentar Mhala malas.
Aku hanya bisa tersenyum menanggapi interaksi itu.
"Sabar ya, Dek. Maknae selalu di bully", Yuni menghibur sambil tak bisa menahan tawanya.
"Sedih rasanya jadi anak paling kecil, hiks", Ahmad bertingkah lagi.
"Eh, Karina juga 98 tapi gak lebay. Dewasa, berwibawa, anggun, bijaksana. Gak kaya yang satu ini, nih!", komentar Mhala.
Aku membelalakan mata sambil memberi gesture X. Tapi kemudian aku meralatnya.
"Aamiin Ya Allah.. Semoga jadi doa", aku mulai berpose doa.
"Eh, Karina bulan apa sih?", tanya Reza.
"Januari, udah lebaran", jawabku.
"Eh gue juga. Kita tuh beda berapa hari ya?", tanya Ahmad.
"3 apa 4 hari sih? Aku H6 lebaran. Kamu H3 ya kalau ga salah?", aku ingat kita pernah membahas ini sebelumnya, kan?, jawabku sambil bermonolog dalam hati.
"Aku H4, kan gue lebarannya lebih cepet", jawabnya.
"Oh iya. Betul", respon Ahmad cepat. Jawaban ini ternyata sesuai dengan dugaanku. Aku sebetulnya bisa memberikan respon komunikatif yang memancing pembicaraan kita lebih lama. Tapi aku terlalu lambat berpikir kali ini, sehingga hanya itu kata yang mampu keluar dari mulutku.
"Si Ahmad fanatik amat ya?", komentar Yuni.
"Baru tau? ", komentar Gaga tertawa ditahan.
Aku seperti biasa, hanya menikmati interaksi konyol yang terjadi yang disebabkan kesombongan tapi ceroboh yang dibawa Ahmad tanpa bisa bilang apa-apa lagi.
.
.
.
Waktu cepat berlalu. 5 menit lagi kelas dimulai. Kami bangkit dan berjalan menuju gedung. Di depan gedung tepampang kaca gelap besar pintu yang bisa menggambarkan dengan jelas pantulan diri siapapun yang hendak masuk ke gedung. Aku berjalan tidak jauh dari belakang Ahmad dan dengan jelas dapat melihat, dia bukan jangkauanku sedikitpun. Si gemuk kuno, dengan si proporsional gaul.
Ah, ya. Sebaiknya aku bergegas menuju kelas.